Sunday, November 13, 2011

puisi

Puisi itu hutan rimba...


'Puisi datang pertama kali kepada kita lewat (melalui) nadanya...'

DEMIKIANLAH sasterawan dan wartawan Indonesia, Goenawan Mohammad, menulis sebuah esei tentang sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, salah seorang penyair mapan negaranya.

Puisi seperti menemukan ertinya sendiri tanpa perlu dipimpin sekalipun.

Ia mirip susunan nada muzik yang merdu. Ia bagai orang buta yang mendengar susunan bunyinya sendiri - bunyi yang menawan kalbu, lantas mendorong rasa ingin tahu untuk menemukan makna mendalam dari susunan kata-kata.

Puisi yang disusun indah seringkali berdengung di kepala, meninggalkan semacam jejak - untuk memberi pentafsiran selanjutnya.

Ia menyisakan jejaknya sendiri yang kerap terangkai antara satu kata dengan lainnya.

Maka kita mendapati puisi-puisi yang indah memiliki nada tersendiri. Ia merupakan alunan lagu, yang sebentar berdenting lalu menjemput sebaris hening.

Puisi yang baik adalah rangkaian diksi yang berbunyi dengan sendiri. Ia mengoyak segala yang dianggap kecil dan remeh.

Membaca dan mendengarinya bagai membukakan ruang yang baru. Bahkan tidak jarang kita dibawa melompat dari satu kekosongan ke kekosongan lain.

Puisi memang mengandungi tema-tema kehidupan yang nyata - berkisah tentang pengalaman penyair atau sekadar pemantauannya terhadap sekeliling.

Tidak tertutup kemungkinan pula apabila sebuah puisi disusun secara sistematik dari guguran bunyi yang telah tersusun dengan harmonis.

Maka menikmati puisi sesungguhnya bagai menikmati kata-kata itu sendiri.

Puisi pada mulanya adalah bunyi. Ia merupakan untaian kata yang mengandungi pengertian cukup mendalam.

Puisi yang baik bagaikan tidak boleh dikoyak dan tidak akan boleh diubah. Ia tidak boleh dipaksa untuk menciptakan pengertian-pengertian yang lain.

Ia merupakan pengertian itu sendiri: sebuah kata. Yang ada hanyalah tinggal kita menikmatinya, sekali gus meresapi apa yang dikandungnya, seperti menikmati sebuah muzik.

Dalam pembacaan sajak yang panjang, kita seperti menikmati hamburan bunyi itu. Seakan-akan membentuk alunan nadanya sendiri yang terasa merdu, menguliti seisi kepala.

Ia seperti menggoncang setiap kesedaran dan bertahan di dalam kepala. Meskipun puisi tersebut dibaca dengan perlahan, ia tetap saja menyisakan nadanya sendiri - seumpama sebuah hentakan yang terus saja membangunkan kesadaran dari dalam diri.

Mungkin ada benarnya juga, jika kerja sastera adalah sebuah proses yang berkesinambungan.

Ia suatu upaya yang tidak kenal lelah, katakanlah untuk membangun jiwa dalam manusia itu sendiri. Ia memberi semacam pintu untuk dimasuki.

ANDA MAHU JADI

ANAK RIMBA?

Dan sayapun terkenang pada beberapa sajak yang membicarakan tentang sajak itu sendiri.

Contohnya puisi yang ditulis oleh seorang lagi penyair mapan Indonesia, Joko Pinurbo, berjudul 'Pelajaran Puisi'. Ia menyebut begini:

'Puisi itu hutan rimba. Kalian mau jadi anak rimba?'

Dengan 'memasuki puisi' yang bagi Pinurbo adalah hutan rimba, kita juga dihadapkan dengan beragam peristiwa yang mesti diresapi, didengar seperti sebuah lagu.

Ia semacam usaha untuk membuka rangkaian nada-nada yang ada, menemukan jenis muzik yang diingini.

Setiap jalinan kata yang sarat makna itu akan terus bergema, mengendap dan menyusup ke jiwa saat ia dibaca.

Dengan untaian kata-kata satu sama lain yang terikat, mencipta puisi seperti mencipta sebuah simfoni.

Mungkin pembaca juga akan turut mengembara, mengikuti perjalanan kata-kata itu sendiri.

Dan puisi seperti menghentak unsur keterjagaan, menyingkap semua gelombang sunyi yang terpancar dari helai-helai diksi.

Seorang penyair agaknya memiliki cara sendiri untuk menuliskan sajaknya.

Barangkali apa yang diniatkan merupakan sebuah alur pemikiran yang diolah dari batin bawah sedarnya.

Maka sajak-sajak yang lahir merupakan potret tersendiri dari perjalanan hidupnya, atau katakanlah sebagai catatan peribadi.

Jika memang ia bertemu dengan luka kehidupan, sajak-sajak yang ditulisnya akan berkisah banyak.

Luka yang mengendap seperti memberi bisikan tersendiri, luka juga yang membuat seorang Chairil Anwar mencipta 'Aku'-nya. Gaung luka yang akan terus menggema, sampai jauh.

Maka bunyi itupun seperti menjerit, menyingkap gaung sunyi yang lama tertahan di sana. Ia melingkupi setiap diksi yang ada, membuka auranya tersendiri.

Untuk itu, tidak hairan pula jika banyak puisi yang digubah jadi lagu. Sebab pemetaan bunyi dalam puisi begitu tertib, ia seperti melengkapi setiap celah yang tersembunyi. Dan berdenting menjemput segala hening.

Puisi memang sebuah lagu. Lagu tentang gembira mahupun sedih. Lagu yang berhubungan dengan karsa atau alam bawah sedar.

Bagi pembaca atau penciptanya (penyair), ia semacam denting yang terus berdengung, hingga sebuah puisi habis dibaca, membuka auran bunyi yang lainnya.

Ia seperti menghidupkan segenap peristiwa yang mungkin ditulis dengan perasaan yang amat sangat, dengan penuh gairah, atau jiwa yang sedang gelisah.

Dengan demikian, puisi berupaya merangkul semua aliran bunyi yang ada. Ia boleh merentas ke segala situasi - semacam ingin memberi khabar pada dunia.

Mudah-mudahan pula ia akan menjelma dalam keabadian yang akan berteriak, bahkan hingga seribu tahun lagi (meminjam ungkapan Chairil Anwar dalam 'Aku').

BIODATA PENULIS: Alex R. Nainggolan dilahirkan di Jakarta pada 16 Januari 1982. Beliau menyumbangkan esei ini khusus untuk para pembaca Berita Minggu yang meminati sastera.

No comments:

Post a Comment